Cerpen
Oleh
: Putri Ningtyas Raharja
“Kamu siapa?”
“Kak Sammy? Kamu kak Sammy kan?”
tanyaku.
“Aku tanya kamu siapa, kenapa kamu
yang balik tanya?”
“Kak, tolong kakak ikut aku ke
aula. Aku disuruh bawa kakak senior yang ulang tahunnya sama seperti aku. Dan
cuma kakak orangnya.” rengekku padanya.
Sammy adalah kakak senior dengan
tampang yang bisa dibilang bisa memikat hati semua cewek. Dia handsome, berkulit putih, dan berbadan
tinggi.
“Aku tidak mau!” katanya.
“Kak, tolong aku. Kalau aku tidak
bisa membawa kakak ke aula, kata para senior yang lain aku akan dapat hukuman
berat. Ayolah, kak. Please.”
Ku pandang dia yang tiduran di
bangku taman dengan menggunakan earphonenya.
Melihat hal seperti itu membuatku kesal.
“Bagus, ya. Aku susah-susah ngomong
sama dia, aku rayu-rayu dia, tetap saja tidak ada hasilnya! Terus ini gimana?
Waktu tinggal 1 jam lagi untuk membawa Sammy ke aula. Ayo Sarah, berpikir!”
Aku terus berjalan kesana-kemari.
Aku harus menemukan akal agar aku bisa lepas dari hukuman para senior. Lucu kan
kalau hari penutupan ospek ini harus diisi dengan hal buruk?
**
Aku bergegas menuju perpustakaan
untuk menemui Pak Bahrun, beliau adalah penjaga perpustakaan sekaligus pemegang
data para mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Gajah Mada. Aku akan mencoba
untuk meminta datanya lagi. Barangkali aku yang salah baca.
Jam dinding perpustakan menunjukkan
pukul 10.15. Sialan! Sudah 15 menit. Berarti waktuku yang tersisa tinggal 45
menit lagi. Aku harus cepat!
“Pak, maaf mengganggu lagi. Saya
Sarah, yang tadi kesini untuk meminta data para senior yang hari ini ulang
tahun. Saya mau memastikan lagi, pak. Soalnya tadi waktu saya bertanya pada
Sammy, dia tidak mau menjawab, pak.” pintaku dengan wajah memelas.
Pak Bahrun tersenyum.
“Sebentar ya, nona.” katanya.
Aku memperhatikan jari-jari pak
Bahrun yang sibuk dengan keyboard
komputernya. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas.
“Bagaimana, pak? Ada?”
“Sebentar, ya. Masih saya cari.”
kata beliau.
“Nah, ini dia.”
“Siapa, pak? Siapa?”
“Memang cuma mas Sammy, nona.”
Begini saja, saya printkan datanya. Nanti nona tunjukkan pada mas Sammy.
Bagaimana?”
“Iya, pak.” jawabku singkat
Aku melirik jam duduk yang berada
tepat didepanku, di meja pak Bahrun. Sudah pukul 10.30. Aku shock. Perasaanku campur aduk, antara
cemas dan takut. Bagimana ini? Bagaimana kalau Sammy tetap tidak mau untuk ku
ajak ke aula? Aku akan mendapat hukuman? Ya Tuhan!
“Ini, nona.”
“Terima kasih, pak.” jawabku sambil
berlari meninggalkan pak Bahrun.
Aku harus cepat-cepat menuju bangku
taman tadi. Mudah-mudahan Sammy masih ada disitu. Semoga saja.
**
Berkali-kali ku lirik jam tangan
yang melingkar di tangan kiriku.Pukul 10.40. Aku memasang ekspresi tidak
percaya. Gila! Jalannya waktu cepat sekali.
Ku percepat lariku menuju taman
tadi.
“Huft! Ternyata Sammy masih
disini.” kataku sedikit lega.
Dengan penuh keberanian, aku
mencoba membangunkannya.
“Kak, Sammy. Please, ikut aku.”
Aku goyang-goyangkan badannya agar
dia mudah terbangun. Aku semakin cemas. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.45.
“Sialan! Waktuku tinggal 15 menit
lagi.”
“Apaan, sih? Aku tidak mau! Aku
tidak mau ikut kamu ke aula! Megganggu saja!” katanya kemudian.
“Please, kak. Nanti kalau aku
dihukum para senior yang lain gimana? Tolong, kak. Aku mohon.”
“Tidak mau!” jawabnya dengan tegas.
Dia kembali mengenakan earphonenya dan kembali tiduran di
bangku taman itu.
“Ya Tuhan, apa yang harus aku
lakukan? Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi. Aku harus segera membawanya.”
kataku dengan kecewa.
Aku mulai putus asa. Aku hendak
kembali ke aula dengan tangan kosong. Tiba-tiba, aku ingat sesuatu hal.
“Tunggu! Aku kan membawa handycam. Kenapa tidak aku rekam saja?”
Aku lega sekarang. Aku mulai
merekam kami, aku dan Sammy. Dan aku bernyanyi selamat ulang tahun sambil
memegan kue taart kecil.
Sammy menyadarinya. Dia marah
kepadaku. Tetapi tidak aku ambil pusing, yang penting aku sudah mendapat
rekamannya. Dia bergegas pergi meninggalkanku yang masih tebar senyum untuk
mereda kemarahannya. Dia tidak menghiraukan.
“Terima kasih, kak.” ucapku dengan
suara lantang karena dia semakin jauh dari aku.
Aku senang. Aku pasti tidak akan
kena hukuman, pikirku.
**
Waktu menunjukkan pukul 10.55. Aku
harus cepat-cepat kembali ke aula. Kalau aku kembalinya lebih dari pukul 11.00,
aku pasti kena marah. Panitia ospek kan suka sekali kalau harus marah-marah
sama mahasiswa baru. Untung saja aulanya dekat dari sini.
Aku berlari sekencang mungkin. Aku
berlari menggunakan sisa-sisa tenagaku.
“Kak Brian, aku sudah bertemu
orangnya.”
“Mana?”
“Ini.” kataku sambil menunjukkan
rekaman yang aku buat tadi.
“Kamu gila, ya. Aku tadi menyuruhmu
untuk membawa orangnya kemari. Bukan untuk membuat rekaman tidak berguna
seperti ini.”
Sudah ku duga akan seperti ini.
“Tetapi dianya tidak mau, kak.”
“Siapa bilang tidak mau?” terdengar
suara yang sepertinya aku sangat mengenal siapa pemilik suara itu.
“Sammy?” tanya Brian.
“Loe itu kurang ajar ya, ngerjain
junior sampai segitunya. Kasihan!” katanya sambil menjitak kepala Brian.
“Aduh, sakit Sam.”
Aku tersenyum lebar. Usahaku
mengejarnya untuk membawanya kemari tidak sia-sia.
“Terima kasih, Sarah. Buat taartnya.” kata Sammy dengan senyuman
terbaiknya, menurutku.
“ Aku yang harusnya berterima
kasih. Terima kasih karena kakak sudah mau kemari. Jadinya, aku kan tidak akan
mendapat hukuman.” jawabku.
Dia kembali tersenyum kepadaku.
“Awas, kalau loe sampai hukum dia!”
“Ciiyee, Sam.” ledek Brian.
Sammy mengacungkan tangannya yang
mengepal ke arah Brian.
“Ampun, bos! Hahaha..”
Akhirnya, ospek terakhir ini tidak
ditutup dengan hukuman. Tetapi, dengan perasaan yang berbunga-bunga. Terima
kasih Sam, ucapku dalam hati.
*End*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar