Minggu, 22 Desember 2013

Si Cuek

Cerpen
Oleh : Putri Ningtyas Raharja

“Kamu siapa?”
“Kak Sammy? Kamu kak Sammy kan?” tanyaku.
“Aku tanya kamu siapa, kenapa kamu yang balik tanya?”
“Kak, tolong kakak ikut aku ke aula. Aku disuruh bawa kakak senior yang ulang tahunnya sama seperti aku. Dan cuma kakak orangnya.” rengekku padanya.
Sammy adalah kakak senior dengan tampang yang bisa dibilang bisa memikat hati semua cewek. Dia handsome, berkulit putih, dan berbadan tinggi.
“Aku tidak mau!” katanya.
“Kak, tolong aku. Kalau aku tidak bisa membawa kakak ke aula, kata para senior yang lain aku akan dapat hukuman berat. Ayolah, kak. Please.”
Ku pandang dia yang tiduran di bangku taman dengan menggunakan earphonenya. Melihat hal seperti itu membuatku kesal.
“Bagus, ya. Aku susah-susah ngomong sama dia, aku rayu-rayu dia, tetap saja tidak ada hasilnya! Terus ini gimana? Waktu tinggal 1 jam lagi untuk membawa Sammy ke aula. Ayo Sarah, berpikir!”
Aku terus berjalan kesana-kemari. Aku harus menemukan akal agar aku bisa lepas dari hukuman para senior. Lucu kan kalau hari penutupan ospek ini harus diisi dengan hal buruk?

**

Aku bergegas menuju perpustakaan untuk menemui Pak Bahrun, beliau adalah penjaga perpustakaan sekaligus pemegang data para mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Gajah Mada. Aku akan mencoba untuk meminta datanya lagi. Barangkali aku yang salah baca.
Jam dinding perpustakan menunjukkan pukul 10.15. Sialan! Sudah 15 menit. Berarti waktuku yang tersisa tinggal 45 menit lagi. Aku harus cepat!
“Pak, maaf mengganggu lagi. Saya Sarah, yang tadi kesini untuk meminta data para senior yang hari ini ulang tahun. Saya mau memastikan lagi, pak. Soalnya tadi waktu saya bertanya pada Sammy, dia tidak mau menjawab, pak.” pintaku dengan wajah memelas.
Pak Bahrun tersenyum.
“Sebentar ya, nona.” katanya.
Aku memperhatikan jari-jari pak Bahrun yang sibuk dengan keyboard komputernya. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas.
“Bagaimana, pak? Ada?”
“Sebentar, ya. Masih saya cari.” kata beliau.
“Nah, ini dia.”
“Siapa, pak? Siapa?”
“Memang cuma mas Sammy, nona.” Begini saja, saya printkan datanya. Nanti nona tunjukkan pada mas Sammy. Bagaimana?”
“Iya, pak.” jawabku singkat
Aku melirik jam duduk yang berada tepat didepanku, di meja pak Bahrun. Sudah pukul 10.30. Aku shock. Perasaanku campur aduk, antara cemas dan takut. Bagimana ini? Bagaimana kalau Sammy tetap tidak mau untuk ku ajak ke aula? Aku akan mendapat hukuman? Ya Tuhan!
“Ini, nona.”
“Terima kasih, pak.” jawabku sambil berlari meninggalkan pak Bahrun.
Aku harus cepat-cepat menuju bangku taman tadi. Mudah-mudahan Sammy masih ada disitu. Semoga saja.

**

Berkali-kali ku lirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku.Pukul 10.40. Aku memasang ekspresi tidak percaya. Gila! Jalannya waktu cepat sekali.
Ku percepat lariku menuju taman tadi.
“Huft! Ternyata Sammy masih disini.” kataku sedikit lega.
Dengan penuh keberanian, aku mencoba membangunkannya.
“Kak, Sammy. Please, ikut aku.”
Aku goyang-goyangkan badannya agar dia mudah terbangun. Aku semakin cemas. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.45.
“Sialan! Waktuku tinggal 15 menit lagi.”
“Apaan, sih? Aku tidak mau! Aku tidak mau ikut kamu ke aula! Megganggu saja!” katanya kemudian.
“Please, kak. Nanti kalau aku dihukum para senior yang lain gimana? Tolong, kak. Aku mohon.”
“Tidak mau!” jawabnya dengan tegas.
Dia kembali mengenakan earphonenya dan kembali tiduran di bangku taman itu.
“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi. Aku harus segera membawanya.” kataku dengan kecewa.
Aku mulai putus asa. Aku hendak kembali ke aula dengan tangan kosong. Tiba-tiba, aku ingat sesuatu hal.
“Tunggu! Aku kan membawa handycam. Kenapa tidak aku rekam saja?”
Aku lega sekarang. Aku mulai merekam kami, aku dan Sammy. Dan aku bernyanyi selamat ulang tahun sambil memegan kue taart kecil.
Sammy menyadarinya. Dia marah kepadaku. Tetapi tidak aku ambil pusing, yang penting aku sudah mendapat rekamannya. Dia bergegas pergi meninggalkanku yang masih tebar senyum untuk mereda kemarahannya. Dia tidak menghiraukan.
“Terima kasih, kak.” ucapku dengan suara lantang karena dia semakin jauh dari aku.
Aku senang. Aku pasti tidak akan kena hukuman, pikirku.

**

Waktu menunjukkan pukul 10.55. Aku harus cepat-cepat kembali ke aula. Kalau aku kembalinya lebih dari pukul 11.00, aku pasti kena marah. Panitia ospek kan suka sekali kalau harus marah-marah sama mahasiswa baru. Untung saja aulanya dekat dari sini.
Aku berlari sekencang mungkin. Aku berlari menggunakan sisa-sisa tenagaku.
“Kak Brian, aku sudah bertemu orangnya.”
“Mana?”
“Ini.” kataku sambil menunjukkan rekaman yang aku buat tadi.
“Kamu gila, ya. Aku tadi menyuruhmu untuk membawa orangnya kemari. Bukan untuk membuat rekaman tidak berguna seperti ini.”
Sudah ku duga akan seperti ini.
“Tetapi dianya tidak mau, kak.”
“Siapa bilang tidak mau?” terdengar suara yang sepertinya aku sangat mengenal siapa pemilik suara itu.
“Sammy?” tanya Brian.
“Loe itu kurang ajar ya, ngerjain junior sampai segitunya. Kasihan!” katanya sambil menjitak kepala Brian.
“Aduh, sakit Sam.”
Aku tersenyum lebar. Usahaku mengejarnya untuk membawanya kemari tidak sia-sia.
“Terima kasih, Sarah. Buat taartnya.” kata Sammy dengan senyuman terbaiknya, menurutku.
“ Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih karena kakak sudah mau kemari. Jadinya, aku kan tidak akan mendapat hukuman.” jawabku.
Dia kembali tersenyum kepadaku.
“Awas, kalau loe sampai hukum dia!”
“Ciiyee, Sam.” ledek Brian.
Sammy mengacungkan tangannya yang mengepal ke arah Brian.
“Ampun, bos! Hahaha..”
Akhirnya, ospek terakhir ini tidak ditutup dengan hukuman. Tetapi, dengan perasaan yang berbunga-bunga. Terima kasih Sam, ucapku dalam hati.


*End*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar